Nama : Andita Zahra Sabrina
Nim : 2201055067
Prodi : Pendidikan Bahasa Inggris
Kelas : 1C
Pendidikan Agama Islam
Secara umum, masyarakat Indonesia berpegang teguh pada empat madzhab yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali untuk dijadikan sebagai sumber pedoman sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Setiap diantara mereka, memiliki pendapat yang berbeda dalam memberikan atau menjatuhkan hukum terhadap suatu perkara. Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab perbedaan mereka dalam berpendapat, diantaranya adalah perbedaan tempat serta kondisi dan situasi yang dialami sangatlah berbeda. Lain dari pada itu, setiap diantara mereka memeiliki ciri khas dalam menetapkan hukum pada suatu perkara.
5 Kasus beserta perbedaan pendapat dari 4 Mazhab.
1. Rukun bacaan Al-fatihah dalam Sholat
Menurut Imam Hanafi, membaca sholat Al-Fatihah tidak di setiap raka’at diharuskan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i membaca Al Fatihah dalam sholat wajib dalam setiap raka’at. Imam Maliki juga berpendapat sama dengan Imam Syafi’i, bahwa Al Fatihah wajib dibaca pada setiap raka’at. Untuk mazhab Hambali, Imam Hambali berpendapat bahwa membaca Al Fatihah diwajibkan pada setiap raka’at. Seperti pembacaan sholat Al Qur’an setelah Al Fatihah juga keempat mazhab memiliki perbedaan pendapat.
2. Rukun Wudhu
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
- 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran
- 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
- 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib
- 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.
3. Batasan aurat wanita saat Sholat.
Ketika shalat baik sendiri maupun berjamaah adalah wajib hukumnya untuk menutup aurat. Apabila aurat terbuka di tengah shalat tanpa sengaja, maka shalatnya tidak batal asalkan sedikit dan segera ditutup. Namun jika terbukanya secara sengaja maka shalat tersebut batal dan wajib mengulangi. Batas aurat wanita menurut empat madzhab ketika shalat adalah sebagai berikut:
- Madzhab Syafi’i: Batasan aurat wanita saat shalat menurut madzhab syafii adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan luar dan dalam.
- Madzhab Hanafi: Saat shalat aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali; telapak tangan bagian dalam (bagian luar telapak tangan termasuk aurat) dan bagian luar telapak kaki (telapak kaki bagian dalam adalah aurat).
- Madzhab Hanbali: Ketika shalat aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah.
- Madzhab Maliki: Dalam Madzhab Maliki membagi aurat wanita ketika shalat menjadi 2 (dua) yaitu mugholladzoh (berat) dan mukhaffafah (ringan) dan masing-masing memiliki hukum tersendiri. Aurat mughalladzah adalah seluruh anggota tubuh selain seputar kepala, dada dan punggung atau antara pusar sampai lutut. Aurat mukhoffafah (ringan) ialah seluruh tubuh selain dada, punggung, leher, lengan, dan dari lutut sampai telapak kaki atau selain pusar sampai lutut kaki. Terbukanya aurat mugholladzoh ketika shalat dapat membatalkan shalatnya. Sedang terbukanya aurat mukhaffafah tidak membatalkan shalat. Akan tetapi disunnahkan mengulangi shalat apabila waktu mencukupi.
4. Hukum membaca Al-qur'an saat haid.
Perempuan yang sedang mengalami haid tidak boleh melakukan puasa, shalat, dan beberapa ibadah lainnya. Hukum menyentuh Al-Qur’an bagi wanita haid yakni tidak boleh apalagi membawanya. Berbeda halnya dengan hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang hukum wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Qur’an. Ada pendapat yang memperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, namun ada juga yang melarangnya.
Mazhab yang memperbolehkan wanita sedang haid membaca Al-Qur’an yakni mazhab Hanafi dan Maliki. Pendapat ulama dari kalangan ini juga sering menjadi rujukan atau hujjah oleh berbagai pihak untuk memperbolehkan wanita haid membaca Al-Quran. Terlebih lagi bagi wanita yang sedang menjalankan program tahfid atau hafalan Al-Qur’an yang dapat menyelesaikan hafalannya sesuai target tanpa ada halangan.
Menurut Mazhab Syafi'i yang terkenal dengan pemahaman yang sangat ketat melang wanita haid membaca Al-Qur’an. Seperti menurut salah satu ulama yang mengikuti mazhab ini yakni Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu. Di dalam kitab tersebut, menjelaskan haram hukumnya bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana jumhur ulama di kalangan mazhab tersebut. Selain itu menurutnya juga masa haid yang berlangsung dalam beberapa hari biasanya tidak akan sampai membuat seseorang lupa pada hafalannya bagi wanita yang sedang menjalankan program tahfidz.
Sedangkan menurut mazhab Hanbali mayoritas ulamanya tidak melarang wanita haid untuk membaca Al-Qur’an. Alasannya mengacu pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib: “Tidaklah Nabi melarang seorang membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an selama dia tidak dalam keadaan junub”.
5. Hukum Zakat perhiasan.
Ada banyak pendapat dalam masalah ini, tetapi ada dua pendapat yang terkuat:
- Pendapat Pertama: Wajib Menunaikan Zakat Perhiasan
Ini adalah mazhab Hanafiyah, salah satu qaul dalam mazhab Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama salaf, seperti Ibnul Mundzir, al-Khaththabi, Ibnu Hazm, dipilih oleh as-Shan’ani s serta ulama kontemporer seperti Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Dalil-dalil pendapat ini adalah:
Dari Al-Qur’an.
﴿وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ﴾
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan adzab yang pedih.” (QS. At-Taubah 34)
Segi pendalilan: perhiasan termasuk dalam keumuman ayat tersebut, tidak ada dalil yang mengecualikan kondisi dan macam tertentu dari emas dan perak, sehingga tidak boleh mengkhususkan jenis tertentu tanpa nas maupun ijmak. ([7])
Dari sunah.
عَنْ عَمْرو بن شُعَيْب عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امرأتَيْنِ أَتَتَا رَسُوْلَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم وَفِي أَيْدِيْهِمَا سِوَارَانِ مِنْ ذَهَبٍ، فَقَالَ لَهُمَا: أَتُحِبَّانِ أَنْ يُسَوِّرَكُمَا اللهُ – تَعَالَى – سِوَارَيْنِ مِنْ نَار؟ !، قَالَتَا: لَا، قَالَ : فَأَدِّيَا زَكَاتَهُ
“Dari Amr bin Syu’aib radhiallahu ‘anhu dari kakeknya, bahwa suatu ketika dua orang perempuan datang kepada Rasulullah ﷺ, dan di tangan mereka terlihat gelang dari emas. Rasulullah pun bertanya kepada mereka, ‘Apakah sudah kamu tunaikan zakatnya?’ Mereka menjawab: ‘Belum.’ Maka Rasulullah ﷺ berkata, ‘Apakah kalian berdua ingin disiksa di Hari Kiamat kelak dengan dua gelang dari api?’ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Maka beliau berkata, ‘(Jika kalian tidak ingin demikian), maka tunaikanlah zakatnya’.” ([8])
- Pendapat Kedua: Tidak Ada Kewajiban Menunaikan Zakat Perhiasan yang Digunakan
Ini adalah mazhab jumhur Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan kebanyakan ulama. ([22])
Dalil-dalil pendapat ini adalah:
Dari Al-Qur’an:
﴿وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤) يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ﴾
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan azab yang pedih. Ingatlah pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka seraya dikatakan kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu.” (Q.S. At-Taubah: 34-35)
Segi pendalilan: penyebutan harta simpanan dan infak dalam ayat di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan emas dan perak di situ adalah uang, karena itulah yang disimpan dan diinfakkan. Adapun perhiasan biasa yang digunakan maka tidak termasuk harta simpanan dan bukan juga untuk diinfakkan. ([23])
Dari sunah:
Dari Zainab radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
تَصَدَّقْنَ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ…الحديث.
“Bersedekahlah wahai kaum wanita, sekalipun dari perhiasan kalian.” ([24])
Segi pendalilan: hadits ini menunjukkan tidak wajib zakat pada perhiasan, seandainya wajib maka beliau tidak akan menyebutnya untuk sedekah sunah. ([25])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar